Oleh: nusaibah | Oktober 8, 2007

BERSIAP MEMIKUL RISALAH ILAHIYAH

(Kajian surah al-‘Muddatstsir ayat 1-5)

 Pengantar

Menurut berbagai riwayat shahih, setelah turunnnya 5 ayat pertama surah al-‘Alaq, wahyu sempat terhenti beberapa saat, walau ada ikhtilaf tentang berapa lamanya masa fatrah (senggang) tersebut. Meski sebagian sumber menyebutkan lamanya sampai 2 sampai 3 tahun, riwayat yang dikuatkan oleh ulama’ sirah nabawiyah adalah “tidak terlalu lama”, yakni 40 hari saja atau paling lama 6 bulan, sehingga Nabi kembali siap untuk menyambut wahyu berikutnya. Tambahan-tambahan (ziyadah) kisah dalam riwayat-riwayat seputar masalah ini, yang menyatakan bahwa beliau nyaris putus asa dan bermaksud bunuh diri dengan terjun dari puncak bukit, adalah tidak benar. Status riwayatnya mursal-dha’if, yakni diriwayatkan oleh Tabi’in tanpa menyebutkan Sahabat yang menjadi sumbernya. Ini termasuk kelompok hadits lemah.

Wahyu pertama yang turun setelah berlalunya masa fatrah adalah surah al-Muddatstsir ayat 1-5, bukan al-Qalam sebagaimana disebutkan dalam berbagai tata urutan menurut mushaf-mushaf yang ada, atau dalam kajian standar SNW. Riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran atas pendapat ini dapat ditelusuri dari hadits shahih yang dimuat dalam ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), bersumber dari ‘Aisyah r.a. dan Jabir bin ‘Abdillah r.a.

Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan dan Imam adz-Dzahabi dalam Sirah-nya menyatakan bahwa, al-‘Alaq adalah wahyu pertama yang menyatakan pengangkatan Muhammad SAW sebagai Nabi, sedangkan al-Muddatstsir adalah wahyu pertama yang menyatakan pengangkatan beliau sebagai Rasul. Maka, dalam al-‘Alaq tidak ada perintah untuk menyerukannya kepada orang lain, sebagaimana umumnya ciri-ciri kenabian murni. Sebaliknya, dalam al-Muddatstsir secara nyata diungkap perintah untuk bangkit dan memberi peringatan kepada orang lain, selazimnya ciri-ciri sebuah tugas kerasulan.

 Asbabun Nuzul

Dalam ash-Shahihain dan sirah nabawiyah diceritakan bahwa dalam masa fatrah wahyu, Rasulullah berada dalam kebimbangan dan bertanya-tanya tentang peristiwa dahsyat yang dialaminya di Gua Hira’. Beliau sendiri masih sering mendatangi gua tersebut dan melanjutkan kebiasaan tahannuts-nya.

Hingga, suatu saat, beliau berjalan di suatu tanah kosong di depan gua tersebut, dan sebuah suara memanggilnya. Beliau menengok ke kiri, mencari-cari siapa pemilik suara itu, namun tidak ada siapa pun. Beliau menengok ke kanan, dan kembali tidak ada siapapun yang terlihat disana. Suara yang memanggil nama beliau bergema kembali, dan kali ini beliau menengadahkan wajahnya ke langit. Seketika itu juga beliau jatuh berlutut, sangat terkejut, sehingga tubuhnya sampai ambruk ke tanah. Di lihatnya malaikat yang pernah mendatanginya di Gua Hira’ tengah duduk di kursi, di antara langit dan bumi.

Dalam ketakutan yang sangat beliau bergegas kembali ke rumah. Badan beliau menggigil, panas dingin, seperti lazimnya seseorang yang menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat yang mengguncang jiwa. Beliau meminta diselimuti dan disiram dengan air dingin. Saat itulah Allah mewahyukan, “ya ayyuhal muddatstsir …”, dst.

 Uraian al-Muddatsir 1-5

 () يَآيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Menilik riwayat asbabun nuzul diatas, yang dimaksud dengan “berselimut” dalam ayat 1 adalah makna hakikinya, yakni menutupi badan dengan mantel atau selimut untuk menghangatkan diri. Dalam bahasa Arab, salah satu cara memanggil yang mengekspresikan kelembutan dan rasa sayang adalah memanggil seseorang menurut kondisi riil yang ada pada orang yang dipanggil tersebut. Disini, Rasulullah dipanggil dengan lembut, sesuai keadaan beliau yang sedang berselimut dan menggigil ketakutan.

Ketakutan yang dialami Rasulullah adalah sesuatu yang alamiah, tidak merusak kemuliaan beliau sebagai manusia pilihan Allah. Ini adalah ketakutan seorang manusia biasa yang untuk kedua kalinya menyaksikan makhluk yang sangat luar biasa (malaikat Jibril). Peristiwa dan reaksi serupa juga ditunjukkan oleh Musa ‘alaihis salam, ketika untuk pertama kalinya diperintahkan oleh Allah melemparkan tongkatnya. Saat tongkat kayu yang telah bertahun-tahun beliau pakai itu berubah menjadi ular yang gesit, spontan beliau lari dengan tanpa menoleh (QS al-Qashash [28] : 31).

 قُمْ فَأَنْذِرْ  

Kata qum berakar dari qawama atau qaama, yang artinya melaksanakan sesuatu secara sempurna. Perintah shalat di dalam al-Qur’an selalu dinyatakan dengan derivasi (bentuk turunan) dari kata dasar ini. Dalam al-Qur’an, seorang laki-laki (suami) disebut sebagai qawwam bagi para wanita (istri), yang maknanya adalah kewajiban untuk menegakkan urusan rumah tangganya secara sempurna, dalam segala aspeknya (QS an-Nisa’ [03] : 34). Dalam ayat 2 surah al-Muddatsir ini, Rasulullah diperintahkan untuk bangkit memberi peringatan (indzar) secara sempurna, sebaik-baiknya. Makna dasar kata qum tersebut sudah cukup menjelaskan apa isi kandungan perintahnya.

Memberi peringatan (indzar), dalam penggunaan ayat-ayat al-Qur’an, biasanya dikaitkan dengan kedahsyatan peristiwa akhirat, khususnya masalah siksa yang pedih bagi mereka yang lalai. Hal ini didukung oleh riwayat sirah nabawiyah, bahwa berita pertama yang beliau ungkapkan kepada kaumnya, sesaat setelah turunnya perintah dakwah jahriyah, adalah peringatan tentang akhirat dan segala yang harus dipertanggungjawabkan oleh manusia di dalamnya.

Maka, secara pribadi, adalah penting bagi kita untuk senantiasa mempertebal keyakinan tentang akhirat. Dan, pintu pertama untuk memasukinya adalah kematian. Rasulullah sering menasihati kita untuk tidak melupakan kematian; agar tidak lalai dan lemah dalam beramal shalih; agar tidak berlarut-larut dalam dosa dan kemungkaran. Umat juga harus diberi keyakinan yang benar dan lurus tentang akhirat ini. Generasi salaf dari umat ini meraih ridha Allah dengan meyakini kebenaran akhirat, mewaspadai kematian, menyiapkan bekal lewat amal shalih, bertaubat, menjauhi dosa, dst. Tidak mungkin ada keikhlasan dan jihad jika umat tidak meyakini akhirat. Mendustakan akhirat, atau kelemahan akidah terhadap rukun iman ke-5 ini, akan membelokkan manusia ke jalan iblis, berupa dunia dan segala pesta-poranya. Na’udzu billah.

 وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

Ayat ini memberikan suatu pengarahan yang jelas, bahwa hanya Allah yang layak dibesarkan. Dengan kata lain, semua selain Allah tidak layak untuk diagung-agungkan. Kata rabb, sebagai maf’ul bih (obyek) dalam ayat ini didahulukan daripada fi’il (verba), yang mengandung pengertian bahwa hanya Dia saja yang berhak mendapatkan apa yang disebutkan dalam fi’il setelahnya. Bentuk serupa dapat ditemukan dalam surah al-Fatihah, iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami mengabdi, hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan). Jika kita ikuti pola penerjemahannya, maka ayat 3 surah al-Muddatsir ini akan berbunyi, “dan hanya Rabb-mu yang harus engkau agungkan.”

Membesarkan dan mengagungkan Allah tidak hanya menjadi sikap lahir, dalam bentuk ucapan dan perbuatan, namun juga merupakan sikap batin. Dalam praktik, misalnya jika harus ada perbenturan antara kehendak Allah (baca : syari’at) dengan kehendak selain-Nya, maka pasti kehendak-Nya jua yang harus dimenangkan dan didahulukan.

 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Secara lughawi, tsiyab adalah jama’ dari tsaub, yang mempunai 7 makna majaz (kiasan) : hati, jiwa, usaha, badan, akhlaq, keluarga, dan istri. Sedang arti hakikinya adalah pakaian. Dalam al-Qur’an, kata ini tidak dipergunakan kecuali dalam makna hakiki, yakni pakaian yang menutupi badan secara fisik. Untuk pakaian dalam arti majaz, al-Qur’an memakai kata lain, yakni libas, yang berkenaan dengan ikatan suami-istri.

Dari sisi ini, membiarkan tsiyab dalam makna hakikinya justru memberikan keleluasaan untuk mencakup makna-makna majazi-nya. Pakaian, dalam banyak budaya di dunia, adalah simbol jiwa dan kehormatan. Para bangsawan menampakkan diri dengan memakai pakaian yang mencirikan kedudukan mereka di tengah-tengah kaumnya. Imam Abu Hanifah menganjurkan para ulama’ memperhatikan pakaian yang dikenakannya sedemikian rupa, agar ilmu dan ulama’ tidak diremehkan. Rasulullah sendiri sangat gemar mengenakan pakaian yang putih bersih. Dan, bagi kita, anjuran ayat ini sangat jelas, bahwa penting untuk menjaga tsiyab kita, baik dalam pengertian hakiki maupun majaz.

Jika dalam ayat 3 ditekankan pembenahan sikap batin (wa rabbaka fa kabbir), maka dalam ayat 4 ini ada perhatian khusus dari aspek lahiriah (wa tsiyabaka fa thahhir). Penampilan yang baik adalah bagian dari dakwah. Rasulullah memang sangat tidak menyukai kemewahan, apalagi gaya berdandan yang mencerminkan kesombongan dan riya’. Namun, beliau membenci orang yang tidak mengurus dirinya, sehingga berbau dan rambutnya kusut-masai. Menurut ‘Aisyah, hal pertama yang dilakukan Rasulullah saat memasuki rumah adalah bersiwak (membersihkan gigi). Beliau juga melarang siapa saja memasuki masjid jika ia baru makan bawang. Beliau juga memerintahkan para Sahabat untuk mandi keramas, bercukur, mengenakan wewangian, memilih pakaian terbaik, pada saat hendak menunaikan shalat Jum’at atau dua hari raya.

 وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Sebagian qira’at membaca ar-rujza dengan ra’ di-kasrah, yaitu ar-rijza. Kata pertama berarti berhala, sedang yang kedua artinya dosa. Lebih jauh, ada yang mengganti za’ dalam kata ini dengan sin, sehingga berbunyi ar-rijsa. Kata-kata ini juga memiliki makna siksa. Dengan demikian, lengkaplah pengertian kata ini : dosa, berhala, siksa.

Sebagian kata dalam bahasa Arab yang memakai sin memang bisa diganti za’, bahkan shad. Misalnya, kata shiraath (dengan shad) dalam surah al-Fatihah bisa dibaca ziraath (dengan za’) atau siraath (dengan sin). Maknanya tidak berbeda.

Sebelum memahami makna ayat ini, kita harus meneliti apa arti fahjur. Akar kata ini adalah hajara, yang berarti berpaling, menjauh, tidak mengajak bicara, dan menyingkir. Ada indikasi kebencian dan ketidaksukaan di dalamnya. Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para Sahabat adalah tindakan yang dilandasi perasaan benci dan tidak suka kepada kezhaliman maupun kemusyrikan yang mereka dapati di Makkah.

Jadi, ayat ini memberikan sebuah pesan yang tegas kepada kita : tinggalkan, jauhi, berpalinglah, menyingkirlah dari segala bentuk dosa, berhala dan perbuatan yang mendatangkan siksa Allah, karena kebencian dan kesadaran akan hakikatnya. Ini terkait erat dengan akidah al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan anti-loyalitas). Mencintai atau membenci sesuatu hanya karena Allah, yakni karena kita mengetahui bahwa Allah tidak menyukai dan melarang kita mendekatinya.

Wallahu ‘alam bish-shawab.


Tinggalkan komentar

Kategori