Oleh: nusaibah | September 16, 2007

SBY dan Dinamika politik Ummat Islam

presiden.jpgKita semua masyarakat Kaltim yang sadar akan perubahan baru saja melewati sebuah proses demokrasi yaitu pemilu untuk memilih seorang pemimpin baru. Akhir akhir ini hasil perhitungan sementara KPU dan quick count dari berbagai media televisi memplot SBY dan JK sebagai kandidat terkuat presiden Indonesia untuk lima tahun mendatang. Perjalanan karier politik SBY masih tergolong muda, sebagaimana secara formal ia di usung oleh Partai Demokrat. Sebenarnya peran besar SBY sudah mulai menonjol ketika ia menjabat sebagai menteri negara sejak era pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Megawati. Peran–peran fundamental yang dilakukan SBY dalam dua pemerintahan tersebut membuat media massa dan televisi semakin intens mem-blow up-nya dan membuatnya menjadi sangat familiar dan populer dikalangan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan perubahan radikal sejak Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi pada tahun 1998 dan diaspora krisis menjadi krisis politik, sosial, budaya yang tampak dari krisis kemanusiaan di Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh yang diperparah oleh perilaku korupsi pejabat yang membabi buta. Berbagai macam krisis ini menjadi indikasi betapa rusaknya sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Oleh karena itu tampilnya SBY dan JK yang merupakan representasi masyarakat Indonesia yang majemuk, dan tampilnya Yusuf Kalla adalah wujud keterwakilan masyarakat Indonesia Timur yang selama ini termarginalkan. Selain itu SBY dan JK merupakan sebuah kombinasi dan kolaborasi yang unik yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia. Sehingga seruan perubahan Indonesia yang dikumandangkan SBY dan JK dalam menuju alaf baru disambut oleh masyarakat secara luas. Munculnya SBY ke dalam kancah politik membangkitkan imaji masyarakat Indonesia yang paternalistik tentang sosok “Ratu Adil” yang ditunggu-tunggu, paradigma messianik seperti ini menjadi salah satu pemicu meningkatnya simpati masyarakat kepada SBY.

Adapun mengenai dinamika politik ummat Islam saat ini dapat disederhanakan ke dalam beberapa konsep dan teorema. Diantaranya adalah bahwa tipologi ummat Islam Indonesia secara antropologis terbagi dalam tiga kategori yaitu, Islam Nominal (abangan), Islam Religius (Santri), Islam Aristokrat (Priyayi). Tesis ini dipopulerkan oleh Clifford Geertz dalam disertasinya yang berjudul Religion of Java. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, ketiga kategori antropologis ini terpisah secara idiologis, seperti Partai Masyumi yang mewakili kaum santri, Partai Sosialis, PKI dan Murba mewakili kaum Islam nominal dan Partai seperti PNI mewakili kelompok Islam dari kalangan aristokrat. Konflik dan disparitas politik sering terjadi atas nama kepentingan-kepentingan idiologis ini, seperti diketahui bahwa Partai Masyumi, PNI, PSI, PKI, adalah partai-partai yang pernah berjaya di zaman Orde Lama. Akan tetapi pada era Orde Baru yang sangat represif terhadap ummat Islam, dan membuat dua organisasi besar pada masa itu yaitu NU dan Muhammadiyah mundur dari aktivitas politik dan menjadi gerakan yang bersifat kultural, sehingga wajar representasi politik ummat Islam sangat kurang. Selain itu ketiga pola tipologi keagamaan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz semakin tidak mendapat tempat, walaupun Soeharto berupaya menegaskannya dalam penyatuan partai-partai menjadi tiga partai besar saat itu.

Pada era Reformasi, bandul perpolitikan ummat Islam berubah total, muncul pendekar-pendekar politik baru seperti Amien Rais, Gusdur, Akbar Tanjung dari kalangan santri, dan Megawati mewakili kaum Abangan, serta Sultan HB IX dari kelompok Priyayi (aristokrat). Kemunculan tokoh-tokoh ini secara tidak langsung juga merupakan representasi ketiga tipologi di atas, sekaligus menjadi tokoh-tokoh elit politik utama. Namun dalam perjalanan politiknya tokoh-tokoh ini belum mampu membuat perubahan yang berarti, sehingga membuat kepercayaan masyarakat umum kepada tokoh-tokoh ini semakin menyusut. Hal ini terlihat jelas pada tahapan pemilu yang sudah kita lewati, dan memperlihatkan munculnya dua kekuatan politik baru yaitu Partai Demokrasi dan PKS.

Persaingan politik semakin mengeras saat menjelang pilpres kemarin, dimana tercipta dua kubu politik antara Mega-Hasyim dengan Koalisi Kebangsaannya yang merupakan representasi kelompok pro status quo dan SBY&JK dari kelompok non status quo. Tampaknya suara Partai maupun Ormas Islam menjadi terpecah-pecah dan tersebar diantara dua kubu tersebut. Dari situ penulis berkesimpulan bahwa saat ini ummat Islam saat ini sedang mengalami proses dinamika yang menarik, karena tampaknya perbedaan idiologi tidak lagi menjadi batasan berbagai kepentingan politik. Hal ini terlihat pada koalisi kebangsaan yang merupakan gabungan beberapa kekuatan besar Partai politik dan aliran keagamaan namun tidak mampu mendulang suara secara signifikan. Ini berarti masyarakat tidak lagi terfragmentasi oleh istilah Islam-Nasionalis atau Santri-Abangan yang tampak dari pasangan Mega-Hasyim. Selain itu masyarakat tidak lagi terjebak oleh simbol politik dan aliran keagamaan tertentu, sehingga ketidakpuasan masyarakat terhadap para elit politik lama membuat kehadiran SBY ke kancah politik disambut hangat oleh masyarakat. Walaupun berbagai macam terpaan isu politik dan agama sempat menghambat langkah-langkah politiknya. Kemampuan SBY untuk menata personalitasnya, baik dari segi bertutur dengan retorika yang khas, bersikap bijak, dan kemampuan menggunakan bahasa tubuh dengan baik membuat masyarakat umum menjadi tertarik dan simpati, dan hal ini tampak dari hasil pilpres yang baru saja dilangsungkan. Melihat kesuksesan SBY dan JK, penulis teringat pada kesuksesan tim sepak bola Yunani yang merupakan pendatang baru dalam liga Eropa kemarin di Portugal. Kemampuan kesebelasan Yunani melibas lawan-lawannya, yang kemudian mampu mengalahkan tuan rumah kesebelasan Portugal yang terkenal kuat dan kokoh di arena final. Rupanya pola kemenangan yang dialami oleh kesebelasan Yunani terulang kembali dalam pilpres kemarin.

Walhasil, pada akhirnya SBY dan JK harus memikul banyak harapan besar rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan yang signifikan, dan mampu membawa negara Indonesia keluar dari krisis multi dimensi yang berkepanjangan. Juga pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum. Diharapkan SBY mampu mencontoh kesuksesan kepemimpinan Mahathir Muhammad yang bisa membawa negara Malaysia menjadi negara maju dan terdepan dalam peningkatan sumber daya manusianya dan penguasaan sains dan teknologi. Karena ini kapan lagi bangsa Indonesia harus bangkit dari keterpurukan ini kalau bukan sekarang, dengan momentum keberhasilan pemilu kali ini diharapkan akan lahir sebuah pemerintahan baru yang bersih (Good Governance), pemerintahan yang kuat (Strong Governance) dan pemerintahan yang religius yang tetap menjaga nilai-nilai budaya Timur. Akan tetapi ini semua bergantung pada apakah pemerintahan baru nanti mampu melaksanakan dan menunaikan janji-janji, misi, dan visi politik yang digembar-gemborkan selama ini dengan baik tanpa tendensi politik tertentu. Wallahu A’lamu Bishawwab.


Tinggalkan komentar

Kategori