Oleh: nusaibah | September 12, 2007

”Balatu’sy Syuhada” (Pertempuran Tours dan Poiters)

syahidPeristiwa pertempuran di kota Tours dan Poiters antara ummat Islam dan Kristen merupakan babakan sejarah yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Istilah Balatu’sy Syuhada yang berarti “timbunan mayat para syuhada” merupakan gambaran betapa dahysatnya pertempuran tersebut, karena banyaknya pemuka Islam dan Tabi’in yang wafat ketika itu.

Peristiwa ini terjadi setelah Abdurrahman Bin Abdullah al-Ghafiki diangkat sebagai gubernur Andalusia, segera ia memperbaiki dan menata kembali pemerintahan Islam di Andalusia yang sedang kacau oleh pergolakan internal. Setelah tata pemerintahan telah kokoh, Abdurrahman dengan tentaranya yang berjumlah 100.000 orang pada tahun 732 M. (awal tahun 114 H.) melintasi Arragon (At-Thager al-A’la) dan Navarre yaitu negeri suku Baschon dan memasuki kota-kota di Perancis. Ia langsung menuju kota Arles -dipinggir sungai Rhone- yang enggan membayar Jizyah dan menduduki kota itu setelah terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Pangeran Eudo di pinggiran sungai. Kemudian ia bergerak ke arah Barat dan menyeberangi sungai Garonne, dan bagaikan halilintar tentara Islam menyapu Acquitania, menggempur kota dan dataran-datarannya yang subur seperti Guyenne, Perigord, Saintonge dan Poitu. Pangeran Eudo mengalami kekalahan pahit di pinggiran sungai Dardogne, Abdurrahman mengejar Eudo sampai ke Bordeaux (Burdal), ibukota yang dapat direbutnya setelah pengepungan yang tidak lama.
Dengan ditemani beberapa orang sahabatnya Pangeran Eudo melarikan diri ke Utara, hingga dengan demikian seluruh Acquitania jatuh ke tangan kaum Muslimin. Kemudian Abdurrahman kembali berputar ke lembah sungai Rhine dan tentara Islam melintasi Bourgondia, menduduki kota-kota Lyon dan Besancon, sedang pasukan perintisnya telah sampai di Sens yang jaraknya hanya 100 mil saja dari kota Paris. Lalu ia mengarah ke Barat hingga ke pinggir sungai Loire untuk menyempurnakan penaklukan di daerah ini, dengan maksud untuk bergerak ke ibukota kerajaan Franka.
Perancis ketika itu dalam kekuasaan kerajaan Franka dengan rajanya yang bernama Theodorik III, akan tetapi yang sebenarnya berkuasa adalah Karel Martel, seorang kepala Pejabat Istana. Karena bahaya Islam telah demikian mendesak maka Karel mengumpulkan segenap bala tentaranya, akan tetapi pasukan Abdurrahman telah memasuki jantung kota Perancis. Sumber-sumber sejarah Islam menyatakan bahwa Karel sengaja mengulur-ulur waktu dan membiarkan pergerakan tentara Islam tersebut, yang pertama agar kerajaan Pangeran Eudo yang merupakan rival politiknya, hancur ditangan ummat Islam. Yang kedua membiarkan tentara Islam mengumpulkan harta rampasan yang banyak, sehingga ketika semangat jihadnya sudah terkontaminasi oleh harta benda akan mudah dikalahkan.
Ketika pasukan Karel Martel bergerak untuk menghadapi pasukan Islam, wilayah Acquitania dan seluruh Perancis Selatan telah dikuasai oleh Abdurrahman. Setelah Kerajaannya jatuh dan tentaranya tercerai berai, maka Pangeran Eudo meminta bantuan kepada musuh lamanya Karel. Karelpun menghimpun tentara dari suku-suku Franka dan kabilah-kabilah liar dari Jerman serta pasukan sewaan dari seberang sungai Rhein. Sebagian besar pasukan ini tidak teratur, hampir telanjang dan hanya memakai pakaian dari kulit serigala, sedang rambutnya yang keriting terurai di atas bahu yang terbuka.
Para sejarawan sukar untuk menentukan dengan pasti di mana terjadi pertempuran yang akan memutuskan nasib sejarah Timur dan Barat itu. Tetapi secara garis besar telah disepakati bahwa itu terjadi di sebuah dataran yang terletak antara Tours dan Poiters, di pinggir sungai Claine dan Vienne, -anak-anak sungai Loire- tidak jauh dari kota Tours. Sebelumnya Abdurrahman al-Ghafiki mengepung dan menduduki kota Poiters, kemudian menyerang kota Tours yang terletak di sebelah kiri sungai Loire dan menguasainya pula. Pada saat itu tentara Franka telah mencapai tepi sungai Loire. Pada mulanya pasukan Islam tidak menyadari hal ini, sedang pasukan mata-mata Islam memberikan taksiran yang meleset mengenai jumlah pasukan Franka. Demikianlah, ketika Abdurrahman hendak menyeberang sungai Loire dengan maksud hendak menghadapi lawan di pinggir kanan, ia terkejut melihat kedatangan tentara yang sangat besar yang dipimpin Karel Martel.
Sadar akan kekuatan besar dari tentara Franka ini, maka Abdurrahman mundur dari pinggiran sungai, kembali menuju dataran antara Tours dan Poiters tadi. Pada saat yang sama pasukan Karel Martel menyeberang pula ke sebelah Barat kota Tours dan berkemah dengan tentaranya beberapa mil disebelah kiri kaum Muslimin, antara sungai Claine dan Vienn. Sementara itu di tubuh pasukan kaum Muslimin sangat mengkhawatikan dan mencemaskan. Secara internal di kalangan kabilah-kabilah Berber (suku dari Afrika Utara) yang merupakan bagian terbesar dari pasukan tersebut mengalami perpecahan. Mereka ingin mengundurkan diri untuk menyelamatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang sangat melimpah. Rupanya perkiraan Karel Martel menjadi benar adanya, karena melimpahnya harta rampasan perang justru membuat kebingungan dan kegaduhan, sehingga semangat jihad pasukan Islam menyusut.
Masalah ghanimah ini cukup disadari oleh Abdurrahman, akan tetapi dengan sia-sia ia menasehati pasukannya untuk meninggalkan harta tersebut, dan ia tidak mau menggunakan kekerasan karena khwatir akan timbul perlawanan. Lagi pula kaum Muslimin sangat lelah dan letih, disebabkan oleh penyerbuan yang terus menerus selama beberapa bulan sejak mereka memasuki Perancis. Walaupun demikian panglima pasukan Islam Abdurrahman al-Ghafiki telah bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan tekad yang bulat dan kepercayaan yang penuh dalam pertempuran yang menentukan ini. Perang dimulai pada 12 atau 13 Oktober 732 M. (akhir bulan Sya’ban, 114 H.) selama 7 atau 8 hari dalam pertempuran-pertempuran kecil, akan tetapi tidak mempengaruhi kedudukan masing-masing. Pertempuran besar mulai berkobar dengan dahsyat pada hari kesembilan, akan tetapi tidak ada kemajuan apa-apa hingga malam tiba.
Pada keesokan harinya pertempuran berkobar kembali, masing-masing menunjukkan menunjukkan keberanian dan ketabahan yang luar biasa hingga akhirnya tanda-tanda kelemahan tampak pada barisan Franka, dan hampir saja kemenangan akan diraih oleh pihak kaum Muslimin. Akan tetapi Karel Martel melakukan siasat yang cerdas, yaitu menyerang kemah-kemah penyimpanan harta rampasan perang milik kaum Muslimin yang melimpah. Melihat hal ini sejumlah besar pasukan berkuda kaum Muslimin menarik diri dari tengah medan pertempuran, menuju barisan belakang untuk mempertahankan harta-harta rampasan tersebut, diikuti oleh prajurit jalan kaki untuk menjaga barang masing-masing hingga dengan demikian barisan tentara Islam menjadi kacau balau.
Dengan sia-sia dicoba oleh Abdurrahman untuk mengembalikan disiplin dan meyakinkan pasukannya, tetapi ketika ia bergerak kemuka untuk memimpin barisan dan mengumpulkan anak-buahnya, tiba-tiba sebuah anak panah musuh menancap di tubuhnya dan menyebabkan ia jatuh dari kuda dan syahid menemui ajalnya. Gempar dan kekacauan menimpa angkatan kaum Muslimin dan sementara itu tentara Franka terus melakukan tekanan keras hingga banyak diantara kaum Muslimin yang gugur. Akan tetapi pasukan Islam yang tersisa tetap bertahan di tempat itu untuk menangkis serangan dengan gigih, hingga malam tiba dan kedua barisan berpisah tanpa ada kemenangan menentukan pada salah satu pihak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 732 M. (awal Ramadhan 114 H.)
Wafatnya sang panglima Abdurrahman al-Ghafiki dan para panglima-panglima utama merupakan bencana yang tak terkira buat kaum Muslimin, Ia adalah gubernur terbaik yang pernah memerintah Andalusia, seorang jenderal ulung yang pernah muncul di sebelah Barat, dan satu-satunya pemimpin yang dapat menyatukan kaum Muslimin di Spanyol berkat wibawa dan sikapnya yang tegas. Dengan demikian hilangnya Abdurrahman dalam suasana genting seperti itu adalah bencana besar bagi cita-cita Islam dan rencana khilafat untuk menaklukkan Eropa.
Dengan wafatnya sang panglima, timbul perpecahan dan perselisihan dalam tubuh pasukan yang tersisa, muncul pendapat yang berbeda-beda, kecemasan, dan kekacauan merajalela. Setelah melihat bahwa sudah tidak ada harapan lagi untuk menang dan membuat serangan balasan, maka para pemimpin pasukan yang masih hidup memutuskan untuk mengundurkan diri ke arah Selatan yaitu ke pangkalan mereka di Septemania. Pada keesokan harinya, melihat sepinya perkemahan tentara Islam, Karel bersama sekutunya Pangeran Eudo maju dengan hati-hati dan mendapatinya dalam keadaan kosong. Karena khawatir kalau-kalau kaum Muslimin sedang melakukan siasat dan tipu muslihat, maka Karel Martel pun enggan dan tidak berani mengejar sisa-sisa pasukan, dan ia merasa puas dengan kemunduran pasukan kaum Muslimin.
Peristiwa “Timbunan mayat para Syuhada (Balatu’sy Syuhada) masih terpatri dalam kenangan sejarah Barat ; rentetan kejadian dan akibat-akibatnya masih menjadi buah bibir dan renungan bagi ahli-ahli sejarah Eropa. Berlalunya masa 12 abad semenjak terjadinya peristiwa itu di rayakan ulang tahunnya di Perancis, dan ia merupakan sumber baru dari pemikiran dan buah pembicaraannya, seakan mereka hendak mengulang kembali raungan yang mengerikan dari sejarah silam yang berbunyi: “Seandainya tentara Islam tidak dapat dibendung di dataran Tours, tiadalah dijumpai lagi Dunia dan Eropah Kristen, dan tentulah sekarang Islam akan berkuasa di Eropah!, Sampai-sampai ke ujung Utara ia akan dihuni oleh putera-putera Semit dengan mata dan rambut hitam, sebagai ganti bangsa Arya yang berambut pirang dan bermata biru! “.
Peperangan ini adalah puncak penentrasi kaum Muslimin ke benua Eropa, dan menjadi peristiwa yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Seorang sejarawan Barat yaitu Edward Gibbon mengatakan bahwa peristiwa peperangan ini “membebaskan nenek moyang kita (Barat) bangsa Britania begitu juga bangsa Gallia dari belenggu pemerintahan dan kepercayaan ala Qur’an, juga melindungi kebesaran Roma dan memperlambat kejatuhan Konstantinopel, memperkuat pula pertahanan orang Kristen, sebaliknya menaburkan diantara kaum Muslimin benih-benih perpecahan dan sebab-sebab kemunduran”.
Mengenai kegigihan kaum Muslimin untuk menaklukkan Eropa, Edward Gibbon mengomentari bahwa pergerakan kaum Muslimin adalah “satu garis kemenangan gemilang”, telah ditarik langkah 1000 mil panjangnya dari bukit Gibraltar (Jabal Thariq) hingga pinggir sungai Loire. Penarikan kembali garis sepanjang itu akan membawa kaum Muslimin ke batas-batas Polandia dan ke dataran tinggi Skotlandia; sungai Rhine tidak akan lagi sukar dilayari sebagaimana sungai Nil atau Eufrat, dan armada Islam akan berlayar memasuki sungai Thames di Eropa dengan tanpa perlawanan. Dan mungkin sekarang ini di sekolah-sekolah Oxford akan diajarkan tafsir al-Qur’an, sedang dari mimbar-mimbarnya akan dikhotbahkan kepada khalayak yang sudah berkhitan, kesucian dan kebenaran nubuwat Muhammad”.
Di dataran antara Tours dan Poiters ini ummat Islam telah kehilangan kesempatan untuk memegang kendali dunia, dan nasib sejarah dunia berubah karenanya ; badai penaklukan Islam terdampar di hadapan bangsa-bangsa Utara, sebagaimana ia terbentur beberapa tahun sebelumnya di muka tembok kota Konstantinopel pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman bin Abdul Walid. Dengan demikian gagallah usaha yang terakhir dari khilafat untuk menundukkan bangsa Barat dan membawa agama Kristen ke dalam pengaruh kekuasaan Islam
Islam yang bersatu padu dengan jumlah yang sekian banyak dengan tekad bulat dan semangat jihad seperti itu tidak pernah lagi mendapat kesempatan untuk menjelajah ke pusat jantung Eropa sebagaimana pergerakan pasukan Abdurrahman al-Ghafiki menuju Balatu’sy Syuhada. Karena ummat Islam tidak lama setelah itu mulai jatuh dalam perpecahan. Sementara kaum Muslimin di Spanyol ribut dengan pertentangan sesamanya, maka sebuah imperium Franka yang besar dan bersatu muncul di balik pegunungan Pyrenea yang mengancam Islam di sebelah Barat dan menyaingi kekuasaan serta pengaruhnya.
Peristiwa pertempuran ini menyisakan pelajaran dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa tersebut. Apa yang terjadi pada pertempuran di Tours dan Poiters ini mengingatkan kita pada peristiwa yang hampir serupa secara kasuistik, yaitu perang Uhud, dimana semangat jihad yang suci mudah terkotori oleh hawa nafsu terhadap harta benda duniawi. Sehingga untuk yang kesekian kalinya tentara Islam harus mundur dan banyak yang berjatuhan menjadi Syuhada hanya karena terlenakan oleh hawa nafsu terhadap harta benda. Oleh karena itu peritiwa ini menjadi pelajaran bernilai para aktifis da’wah dan harakah agar terus memperbaiki niat di dalam memperjuangkan Islam, jangan sampai kemilaunya harta benda dunia membutakan mata bathin kita, dan terperosok dalam jurang kekufuran sehingga merusak Syahadat kita kepada Allah.
Adapun hikmah dibalik peristiwa ini adalah bahwa Allah telah menghendaki mundurnya tentara Islam dari Tours dan Poiters, agar Islam bisa masuk ke Eropa tidak melalui aneksasi dan penaklukan. Akan tetapi melalui jalan masuk secara damai atau Peneteration Facifique, dan itu mulai terasa beberapa dekade ini, dimana ajaran Kristen mulai ditinggalkan oleh pengikutnya di Eropa. Hal ini pada puncaknya terjadi di Belanda pada tahun 1993, sekitar 500.000 orang Kristen Belanda yang memutuskan untuk keluar dari ajaran Kristen, dan tidak sedikit diantaranya yang melakukan konversi ke ajaran Islam. Fenomena konversi masyarakat Eropa kepada Islam semakin meningkat beberapa tahun terakhir, justru karena stereotipe negatif yang senantiasa menghiasi media massa dan televisi, dan membuat orang-orang Eropa tertarik dan penasaran untuk mengetahui al-Islam, sehingga banyak diantara mereka mendapat hidayah dari Allah dan menjadi pemeluk agama Islam. Suatu hal yang sangat ironis sedang terjadi di negeri kita Indonesia, dimana gerakan missionaris menggebu-gebu untuk mempengaruhi kaum Muslimin untuk melakukan konversi ke ajaran Kristen. Sementara pada saat yang sama di belahan benua Eropa, gereja-gereja mulai kosong karena ditinggalkan jamaahnya dan tidak sedikit diantaranya yang berubah menjadi masjid. Wallahu A’lamu Bishawwab.


Tinggalkan komentar

Kategori